![]() |
Sumber: Netflix |
Saya percaya menjadi manusia itu bukan hal yang mudah, lebih-lebih menjadi manusia yang gerak-geriknya diawasi kamera selama 24 jam. Bukan, saya bukan berbicara tentang Big Brother, melainkan acara yang serupa tapi lebih nyata dari negeri hokage, Terrace House. Untuk kamu yang jarang terekspos dengan acara Jejepangan dan mungkin agak memicingkan mata ketika mendengar kata itu, tenang it’s more than just “a weeabo thingy.”
Acara yang sudah diakuisisi Netflix ini berlangsung sejak 2012. Season pertama dari tv show ini hanya diperuntukkan untuk audiens Jepang, eh tapi Netflix melihat potensi yang besar di acara ini dan akhirnya bekerja sama dengan Fuji TV. Sampai detik ini, Terrace House masih on-going setiap hari Senin malam. Mind you, satu season bisa sampai setahun loh, ya karena membernya bisa menentukan kapan mereka mau keluar. Setelah satu season di Shonan, Karuizawa, dan Hawaii, season terbaru yang sudah tayang sejak pertengahan 2019 lalu bertempat di Tokyo. Dengan judul Terrace House: Tokyo 2019-2020, kali ini mereka digaet pemerintah Jepang sebagai upaya promosi Olympic Games yang tahun ini akan diadakan di kota yang sama. Which is such a smart move, secara tempat-tempat yang didatangi membernya pun juga dishoot dengan apik. Dijamin bakal pengen ke Jepang setelah nonton ini.
Terrace House: Opening New Doors pic.twitter.com/bzqnGEN7JP— yo girl (@lnnaamnd) May 4, 2019
Enam orang, tiga wanita dan tiga lelaki, dengan berbagai macam latar belakang tinggal di rumah yang dinamakan Terrace House ini. Enam orang tadi bebas untuk menentukan tujuan mereka selama tinggal di rumah ini, dari sini kelihatan kan perbedaannya dengan Big Brother? Tidak ada kompetisi di antara peserta acara. Kalau di Big Brother nantinya akan ada eliminasi, di Terrace House ada yang namanya graduate, persis seperti sistem AKB48 atau JKT48. Setiap orang datang membawa goals yang berbeda; ada yang ingin cari pacar, ada yang low-key bangun reputasi untuk bisnis start-upnya, bahkan ada yang mencari pengalaman untuk keyakinan seksualitasnya. Nah, di sela-sela kegiatan dan interaksi para member, kamu bakal ditemenin sama hosts yang bantuin kita buat membaca mereka. Inget, bukan baca macam cenayang ya, tapi baca macam diskusi perilaku. Iya, karena memang melihat bagaimana manusia saling berinteraksi itu sangat menarik sampai banyak yang bisa didiskusikan. Di sini kamu juga bisa lihat bagaimana kompleksnya manusia, entah itu lewat perspektif budaya Jepang ataupun budaya Indonesia.
Di acara ini kamu bisa melihat semuanya, mulai dari ke-gabut-an anak muda yang masih mencari passionnya, kesibukan lelaki di umur 30 tahun-an yang ingin sekali mendapatkan pacar agar segera menikah, hingga keburukan member yang terungkap saat salah satu member mulai merasa tidak nyaman dengannya. Tapi menurut saya dibilang momen pertama di saat member baru menginjakkan kakinya untuk pertama kali ke rumah masih belum terkalahkan. Atmosfir awkward dan excited yang terpancar selalu membuat asik menontonnya. Ungkapan first impression matters benar adanya, karena sebagai penonton setia Terrace House, saya akan berlagak seperti member lama yang menilai orang baru tersebut. Apakah member baru ini akan inspiring? Siapa yang akan ditaksir member ini? Apakah hubungan di antara member akan ada yang terganggu? Kemungkinan-kemungkinan tersebut selalu saya antisipasi. Tidak perlu ada drama berlebihan, dinamika hubungan pertemanan dua orang yang sangat berbeda saja bisa membuat kamu campur aduk kok nontonnya.
Menariknya lagi, member Terrace House tidak semuanya orang Jepang, mulai dari orang Amerika sampai blasteran Jepang-Kamboja pun ada. Saya pernah coba-coba mengisi formulirnya dan salah satu syaratnya adalah fluent dalam bahasa Jepang. Tentunya ini menambah variabel budaya yang bisa diulik. Contohnya, di beberapa episode akhir tahun kemarin, kamu bisa melihat bagaimana bedanya wanita Jepang dan Jerman saat menggebet lelaki yang sama. Memang tidak baik untuk menggeneralisasi satu budaya dari satu orang, tapi tidak bisa dipungkiri kalau latar belakang seseorang juga berperan banyak dalam perilakunya.
Budaya yang berbeda ini juga bisa menjadi topik hangat seperti saat seorang lelaki yang sudah lama tinggal di Amerika dengan santainya menyentuh lutut wanita Jepang sembari mengobrol, sesuatu yang dianggap aneh di budaya Jepang jika dua orang tersebut belum cukup dekat. Keanehan momen ini baru saya sadari saat para host mendiskusikannya. Mereka beranggapan bahwa itu adalah perilaku normal untuk seseorang dengan latar belakang budaya barat, karena kemungkinan lainnya, bila dilihat dari sudut pandang mereka sendiri merupakan pertanda kalau mereka sudah pernah tidur bersama. Di akhir, tidak pernah terungkap apakah benar mereka punya hubungan intim atau hanya sekedar gesture yang tidak disadari, yang jelas mereka tidak berhubungan romantis.
Budaya yang berbeda ini juga bisa menjadi topik hangat seperti saat seorang lelaki yang sudah lama tinggal di Amerika dengan santainya menyentuh lutut wanita Jepang sembari mengobrol, sesuatu yang dianggap aneh di budaya Jepang jika dua orang tersebut belum cukup dekat. Keanehan momen ini baru saya sadari saat para host mendiskusikannya. Mereka beranggapan bahwa itu adalah perilaku normal untuk seseorang dengan latar belakang budaya barat, karena kemungkinan lainnya, bila dilihat dari sudut pandang mereka sendiri merupakan pertanda kalau mereka sudah pernah tidur bersama. Di akhir, tidak pernah terungkap apakah benar mereka punya hubungan intim atau hanya sekedar gesture yang tidak disadari, yang jelas mereka tidak berhubungan romantis.
Dari semua dinamika hubungan yang ada, Terrace House ini sebenarnya lebih tepat jika dianggap sebagai tempat yang “menjadikan manusia.” Saya masih ingat salah satu member wanita kaget saat menonton dirinya dari sudut pandang ketiga. Dia tidak sadar bahwa perilakunya selama tinggal di rumah itu bisa dibilang unlikeable karena kurangnya konsiderasi untuk rival cintanya. Tentu saja dia langsung menangis dan mengutuk diri sendiri, tapi esoknya dia tersadar kalau momen itu membantu dia untuk mengintrospeksi diri.
Tinggal berbulan-bulan dengan berbagai orang dengan karakter yang berbeda adalah suatu tantangan, tantangan untuk menjadi manusia yang bertoleransi. Sama halnya untuk saya, yang pada awalnya melihat manusia, saya belajar untuk menjadi manusia.
Salah satu momen paling menyentuh yang saya pernah tonton adalah saat seorang mangaka asal Italia akhirnya menerbitkam komik pertamanya. Untuk beberapa episode, penonton bisa melihat bagaimana mangaka ini selalu berkutat dengan pentabnya. Kefokusan dan keteguhannya untuk membuat manga selalu dikagumi dan didorong oleh member lainnya, bahkan love interestnya. Dari member-member dengan tujuan karir yang jelas ini saya mendaptkan inspirasi dan dorongan untuk terus maju juga. Rasanya seperti mendapatkan teman yang sama-sama sedang berjuang, dari dia saya belajar untuk terus maju dan tidak mudah berkecil hati.
Tinggal berbulan-bulan dengan berbagai orang dengan karakter yang berbeda adalah suatu tantangan, tantangan untuk menjadi manusia yang bertoleransi. Sama halnya untuk saya, yang pada awalnya melihat manusia, saya belajar untuk menjadi manusia.
Salah satu momen paling menyentuh yang saya pernah tonton adalah saat seorang mangaka asal Italia akhirnya menerbitkam komik pertamanya. Untuk beberapa episode, penonton bisa melihat bagaimana mangaka ini selalu berkutat dengan pentabnya. Kefokusan dan keteguhannya untuk membuat manga selalu dikagumi dan didorong oleh member lainnya, bahkan love interestnya. Dari member-member dengan tujuan karir yang jelas ini saya mendaptkan inspirasi dan dorongan untuk terus maju juga. Rasanya seperti mendapatkan teman yang sama-sama sedang berjuang, dari dia saya belajar untuk terus maju dan tidak mudah berkecil hati.
Terrace House memberikan wadah bagi orang-orang yang ingin mengembangkan dirinya, baik di dalam layar maupun di depan layar. Melihat manusia tidak melulu berujung ke gossip, tapi melihat bagaimana dunia bekerja dan menjadi manusia yang sewajarnya.
0 comments