Mengamati Liminal Space di Lokasi Lockdown

Linna Amanda, 2020
© Linna A

Bandung, Jakarta, dan sebagian besar kota di Indonesia memang belum menerapkan hukum lockdown (karantina wilayah), tapi warganya sudah cukup pintar untuk mengikuti aturan social distancing yang marak dikampanyekan dengan slogan #DiRumahAja. Imbas dari himbauan pemerintah ini adalah kosongnya jalanan dan area publik yang sebelumnya selalu ramai, suatu kondisi yang disebut liminal space.

Liminal space adalah suatu keadaan transisi atau transformatif, keadaan di saat kamu sedang berada di antara sesuatu yang kamu tahu dan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kata dasarnya, “liminal,” berasal dari bahasa latin “limen” yang berarti threshold atau “ambang.” Jadi, liminal space adalah tempat atau sesuatu yang berada di ambang batas, di tengah-tengah, di antara.

Kata liminal juga dipakai untuk teori liminalitas di ranah antropologi yang lebih mengarah ke keadaan “ke-terombang-ambingan.” Di saat seseorang merasa bingung dengan latar belakang budayanya, dia akan mencoba mencari identitas yang baru. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini. Keilmuan arsitektur juga menggunakan istilah yang sama, di mana liminal space diartikan secara literal; suatu ruang yang mempertemukan beberapa ruang berbeda. Klik ini kalau kamu masih penasaran.

Keadaan ini bisa dirasakan secara fisik maupun non-fisik. Untuk kamu yang pernah merasakan diputusin pacar, misalnya. Kamu yang sudah terbiasa mendapatkan interaksi yang intens dan tiba-tiba tidak mendapatkan interaksi apapun mungkin akan merasa hilang arah. Kamu belum tahu ke depannya harus bagaimana karena kemarin setahu kamu dunia aman sejahtera, di sini kamu merasakan transisi non-fisik.

Sama halnya saat kamu baru lulus kuliah, meninggalkan kampung halaman untuk merantau, bahkan menunggu hasil dari dokter. Semuanya punya satu hal yang sama: menunggu untuk perubahan yang tidak tentu.

Sebenarnya situasi lockdown ini juga termasuk liminal space non-fisik. Awalnya pemerintah menghimbau warga untuk berdiam diri di rumah untuk dua minggu, dan sekarang status darurat sudah diperpanjang hingga 91 hari. Kondisi ini sesuai dengan artian liminal di mana kita sedang menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti. Apakah setelah 91 hari semuanya akan kembali seperti semula? Apakah statusnya malah akan diperpanjang? Kita semua sedang terperangkap di ruang  yang sama.

Secara fisik, konsep ini bisa dirasakan di tempat-tempat yang “seharusnya ramai tapi sepi.”  Seperti stadium sepak bola di saat tidak ada pertandingan, pusat perbelanjaan tua yang sudah jarang dikunjungi, atau gedung sekolah di malam hari.

Tempat-tempat yang berfungsi untuk kegiatan transisional juga termasuk, seperti lorong hotel, supermarket saat tengah malam, dan juga area basemen parkiran saat kamu selesai nonton bioskop tengah malam. Tidak ada yang menetap, semuanya hanya mampir sejenak.

https://hallscientific.wordpress.com/2017/11/19/weariness-of-the-unfamiliar-the-liminal-space/

Mudahnya, jika saat berada di suatu tempat kamu merasa seperti di dua dunia berbeda maka tempat itu bisa dibilang liminal space. Ada perasaan tidak enak bahkan ketakutan yang ditimbulkan saat kamu berada di tempat-tempat ini. Karena kamu sudah terbiasa dengan area publik yang difungsikan untuk kegiatan bersama, di saat tidak ada orang yang menggunakannya, atmosfirnya akan sangat berbeda.

Akhir-akhir ini, banyak yang menginformasikan keadaan liminal space di berbagai kota lewat sosial media, mulai dari Jakarta, Bandung, bahkan Italia dan New York. Tempat-tempat yang biasanya penuh dengan warga lokal dan turis tampak lengang. Sebuah pemandangan yang sangat-sangat jarang terjadi.

Sekilas, keadaan ini juga bisa dibilang menyeramkan karena kota-kota besar terlihat seperti situasi pasca-apokaliptik atau kota hantu. Sama halnya dengan liminal space yang sering dikatikan dengan hal-hal mistis karena auranya yang seperti dunia di antara dua dimensi. Kondisi ini sama seperti kejadian beberapa kota hantu yang ditinggalkan warganya karena kejadian alam ataupun kurangnya jaminan hidup.

Saya sendiri terakhir melintasi kota Bandung dari Selatan ke Utara sekitar sepekan lalu. Waktu masih menunjukkan jam tiga sore, namun lengangnya jalanan sama seperti sepinya Bandung selepas jam sepuluh malam. Cuaca hari itu cukup cerah, saya yang awalnya mengendarai motor dengan kencang mulai memelankan kecepatan karena saya baru tersadar, kapan lagi jalanan Bandung di siang hari sepi seperti ini?

Sempat terpikir untuk berhenti sejenak dan memfoto keadaan, tapi saya sibuk menyerap keasrian kota kembang ini. “Bandung ternyata jalannya besar-besar,” saya pikir saat itu. Selama enam tahun tinggal di sini, baru pertama kalinya saya menyadari hal tersebut. Sebenarnya, saya terbiasa pulang malam dan pergi pagi, tapi berbeda rasanya saat mengalami hal ini di siang hari. Semuanya terasa tidak nyata, seakan-akan saya masuk ke foto-foto kota Bandung 40 tahun yang lalu.


Liminal space ini merupakan sesuatu yang tidak asing untuk saya sendiri. Sebagai orang yang selalu terombang-ambing dengan pikiran dan perasaan sendiri, saya selalu mengimani konsep ini. Saya percaya kalau tidak ada yang pasti di dunia ini dan karena itulah, saya menerima bahwa mungkin memang frekuensi saya memang tepatnya di ruang-ruang tidak tentu seperti ini. 

Kembali ke situasi terkini, kondisi ini juga mendatangkan ke berita positif. Bukan hanya menurunnya potensi penularan virus, tapi juga menurunkan polusi. Berbagai media telah mengabarkan polusi di China dan Eropa yang sudah menurun dengan tajam. Dengan tidak adanya kendaran yang lalu-lalang di jalanan dan berkurangnya industri yang berjalan, alam berusaha memperbaiki kekacauan yang telah kita buat.

Liminal space mengajarkan bahwa fase transisi dan transformatif ini, walaupun memberi kecemasan dan ketidaknyamanan, juga memberi kita waktu untuk berhenti dan bernafas sejenak. Manusia yang sudah terbiasa hidup dengan tempo yang serba cepat juga harus memperlambat langkah, agar kita dapat melihat dan mengingatkan diri untuk mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan.

Saya yakin setelah lockdown ini, kita akan keluar rumah dengan lebih bersyukur. Menghargai dan menikmati kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sebelumnya tidak pernah disadari. Appreciate what you have, before it turns into what you had.

0 comments