Merasa dan Memaksa Panik: Kepanikan Corona di Indonesia
![]() |
© Futurama |
Saat saya menulis artikel ini, 23/3/19, sudah terhitung 49 korban jiwa dan 579 orang positif COVID-19 yang dikonfirmasi di seluruh Indonesia. Sistem lockdown sudah diberlakukan dan sekumpulan publik dalam jumlah besar sudah mulai ditindaklanjuti pemerintah. Di tengah kegabutan sekaligus keaktifan saya di sosial media, saya memperhatikan para netizen yang mulai sibuk mencari dan menyebarkan informasi apapun, terlepas dari keabsahannya.
Cara orang-orang dalam menyikapi virus ini bisa digambarkan
lewat spektrum: spektrum kiri untuk yang paling teredukasi dan tenang, spektrum
tengah yang mencoba selalu teredukasi dan tenang walaupun was-was, dan spektrum
paling kanan untuk yang kurang teredukasi dan panik. Saya sendiri mencoba untuk
bergerak ke spektrum paling kiri. Uniknya, atau bahkan lebih tepatnya,
sayangnya, masih banyak sekali makhluk-makhluk di spektrum paling kanan.
Orang-orang di spektrum kanan ini bisa dibilang
orang-orang yang mudah termakan hoaks. Setelah mendapatkan informasi, mereka
tidak akan mengecek atau bahkan mengkritisi bacaannya, dan lalu panik sendiri.
Masih mending kalau mereka panik sendiri, walaupun sebenarnya panik sendiri
juga tidak baik karena bisa berimbas ke turunnya kesehatan batin dan lahiriah,
yang bermasalah adalah saat mereka mengajak orang lain untuk ikut panik.
Semuanya di mulai dari panic buying, orang-orang yang saya pikir juga termasuk orang-orang
egois. Tidak semua yang panic buying berintensi
untuk mengajak orang lain untuk panik, apalagi kalau mereka merasa panik
setelah melihat orang lain. Tapi saya sempat terpapar langsung oleh orang yang
sampai “mengutuk” saya karena tidak mengindahkan ajakan dia untuk belanja
tergesa-gesa.
Kenalan saya ini menceritakan harga bawang yang sudah
mulai naik dengan tergesa-gesa dan menekankan saya untuk langsung menyetok
persediaan sembako. Respon saya yang tenang anehnya membuat dia tersinggung,
mungkin karena dia merasa saya tidak menanggapnya serius. Dia berkata, “awas aja kalau nanti minta ke aku karena aku
bener.” yang jelas-jelas membuat saya tertegun.
Saya terheran-heran karena orang-orang ini ternyata
egois sekali, apalagi orang-orang yang membeli barang sampai stok kosong
melompong. Misalkan, ada pekerja yang baru bisa pulang malam dan mendapati
barang yang dia butuhkan baru akan diisi ulang dalam beberapa hari kedepan, dia
harus bagaimana? Sayangnya, ini sudah mulai terjadi untuk beberapa petugas
medis.
Di Twitter, saya mendapati cerita seorang petugas
medis yang mulai kekurangan surgical
glove dan mask. Orang-orang
inilah yang sangat memerlukan memakai masker dan sarung tangan untuk kontak
langsung dengan pasien, bukan untuk kalian pakai ke Indom*ret. Saat petugas
medis terinfeksi dan gugur, silakan berterima-kasih ke diri egois kalian yang
sudah menimbun masker dan hand sanitizer,
entah untuk cuan atau untuk perasaan aman semata.
Selain kepanikan untuk membeli barang, saya juga tidak
mengerti apa yang didapatkan dalam menyebar kepanikan hoaks. Salah satu hoaks
yang tidak jelas dan sedihnya masih ditelan bulat-bulat oleh salah seorang
kenalan: corona bisa menyebar lewat tatapan mata. Ketika kenalan saya
menginformasikan saya tentang hoaks itu, saya ingin menangis sedu-sedan
rasanya. Hoaks ini beredar sebagaimana hoaks bekerja, lewat sosial media dan
platform pesan online.
Apa yang menyebarkan hoaks itu iseng? Apa yang
menyebarkan hoaks itu benci bersosialisasi dan ingin semua orang untuk berhenti
berinteraksi? Saya tidak mengerti, tapi saya lebih tidak mengerti lagi dengan
orang yang dengan mantapnya yakin dan meyakinkan orang lain untuk percaya
dengan berita-berita yang tidak masuk akal ini.
Mungkin orang-orang yang panik ini tidak ingin panik
sendiri dan memaksa orang lain panik agar mereka tidak sendirian. Tapi untuk
apa panik kalau kepanikan tidak akan membuat semuanya kembali seperti semula,
malah membuat semuanya jatuh ke dalam kekacauan yang menjadi-jadi?
Sama halnya dengan menahan keinginan untuk berpergian
ke luar rumah. Kalau kalian punya privilese untuk tetap diam di rumah,
gunakanlah privelese itu sebaik mungkin, toh
kalian nggak akan membusuk juga. Mungkin kalian yang memiliki imunitas
tinggi akan lebih berpotensi untuk sembuh, tapi bagaimana dengan orang tua
kalian dan orang-orang lain yang memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi?
Di situasi ini saya memegang erat prinsip dari seorang
kontributor Channel 4 News yang sempat mengalami lockdown di Wuhan: “If I am
worried now and it happens (to me), I will suffer twice.” Perlu diingat, siaga berbeda dengan panik.
Mencuci tangan dan menjaga kesehatan memang harus ditingkatkan, tapi tetap
dengan jumlah pembelian sabun dan vitamin yang wajar karena semua orang berhak
untuk mendapatkannya.
0 comments