/lnnatic/

C'est la vie/ Every opinion stated is mine unless stated otherwise// linnaamanda.carrd.co //

Linna Amanda, 2020
© Linna A

Bandung, Jakarta, dan sebagian besar kota di Indonesia memang belum menerapkan hukum lockdown (karantina wilayah), tapi warganya sudah cukup pintar untuk mengikuti aturan social distancing yang marak dikampanyekan dengan slogan #DiRumahAja. Imbas dari himbauan pemerintah ini adalah kosongnya jalanan dan area publik yang sebelumnya selalu ramai, suatu kondisi yang disebut liminal space.

Liminal space adalah suatu keadaan transisi atau transformatif, keadaan di saat kamu sedang berada di antara sesuatu yang kamu tahu dan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kata dasarnya, “liminal,” berasal dari bahasa latin “limen” yang berarti threshold atau “ambang.” Jadi, liminal space adalah tempat atau sesuatu yang berada di ambang batas, di tengah-tengah, di antara.

Kata liminal juga dipakai untuk teori liminalitas di ranah antropologi yang lebih mengarah ke keadaan “ke-terombang-ambingan.” Di saat seseorang merasa bingung dengan latar belakang budayanya, dia akan mencoba mencari identitas yang baru. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini. Keilmuan arsitektur juga menggunakan istilah yang sama, di mana liminal space diartikan secara literal; suatu ruang yang mempertemukan beberapa ruang berbeda. Klik ini kalau kamu masih penasaran.

Keadaan ini bisa dirasakan secara fisik maupun non-fisik. Untuk kamu yang pernah merasakan diputusin pacar, misalnya. Kamu yang sudah terbiasa mendapatkan interaksi yang intens dan tiba-tiba tidak mendapatkan interaksi apapun mungkin akan merasa hilang arah. Kamu belum tahu ke depannya harus bagaimana karena kemarin setahu kamu dunia aman sejahtera, di sini kamu merasakan transisi non-fisik.

Sama halnya saat kamu baru lulus kuliah, meninggalkan kampung halaman untuk merantau, bahkan menunggu hasil dari dokter. Semuanya punya satu hal yang sama: menunggu untuk perubahan yang tidak tentu.

Sebenarnya situasi lockdown ini juga termasuk liminal space non-fisik. Awalnya pemerintah menghimbau warga untuk berdiam diri di rumah untuk dua minggu, dan sekarang status darurat sudah diperpanjang hingga 91 hari. Kondisi ini sesuai dengan artian liminal di mana kita sedang menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti. Apakah setelah 91 hari semuanya akan kembali seperti semula? Apakah statusnya malah akan diperpanjang? Kita semua sedang terperangkap di ruang  yang sama.

Secara fisik, konsep ini bisa dirasakan di tempat-tempat yang “seharusnya ramai tapi sepi.”  Seperti stadium sepak bola di saat tidak ada pertandingan, pusat perbelanjaan tua yang sudah jarang dikunjungi, atau gedung sekolah di malam hari.

Tempat-tempat yang berfungsi untuk kegiatan transisional juga termasuk, seperti lorong hotel, supermarket saat tengah malam, dan juga area basemen parkiran saat kamu selesai nonton bioskop tengah malam. Tidak ada yang menetap, semuanya hanya mampir sejenak.

https://hallscientific.wordpress.com/2017/11/19/weariness-of-the-unfamiliar-the-liminal-space/

Mudahnya, jika saat berada di suatu tempat kamu merasa seperti di dua dunia berbeda maka tempat itu bisa dibilang liminal space. Ada perasaan tidak enak bahkan ketakutan yang ditimbulkan saat kamu berada di tempat-tempat ini. Karena kamu sudah terbiasa dengan area publik yang difungsikan untuk kegiatan bersama, di saat tidak ada orang yang menggunakannya, atmosfirnya akan sangat berbeda.

Akhir-akhir ini, banyak yang menginformasikan keadaan liminal space di berbagai kota lewat sosial media, mulai dari Jakarta, Bandung, bahkan Italia dan New York. Tempat-tempat yang biasanya penuh dengan warga lokal dan turis tampak lengang. Sebuah pemandangan yang sangat-sangat jarang terjadi.
¿Alguna vez imaginaron cómo se vería el mundo sin humanos? Bueno, así luce hoy el planeta tierra: pic.twitter.com/wyZsqi3BAd
— Imágenes Históricas (@HistorieEnFotos) March 28, 2020

Sekilas, keadaan ini juga bisa dibilang menyeramkan karena kota-kota besar terlihat seperti situasi pasca-apokaliptik atau kota hantu. Sama halnya dengan liminal space yang sering dikatikan dengan hal-hal mistis karena auranya yang seperti dunia di antara dua dimensi. Kondisi ini sama seperti kejadian beberapa kota hantu yang ditinggalkan warganya karena kejadian alam ataupun kurangnya jaminan hidup.
Jalan Sudirman lengang hari ini. Kamu besok masih ngantor atau sudah work from home?

📷 Kompas/Agus Susanto pic.twitter.com/SD3BtcXvjP
— Gie Wahyudi (@giewahyudi) March 22, 2020

Saya sendiri terakhir melintasi kota Bandung dari Selatan ke Utara sekitar sepekan lalu. Waktu masih menunjukkan jam tiga sore, namun lengangnya jalanan sama seperti sepinya Bandung selepas jam sepuluh malam. Cuaca hari itu cukup cerah, saya yang awalnya mengendarai motor dengan kencang mulai memelankan kecepatan karena saya baru tersadar, kapan lagi jalanan Bandung di siang hari sepi seperti ini?

Sempat terpikir untuk berhenti sejenak dan memfoto keadaan, tapi saya sibuk menyerap keasrian kota kembang ini. “Bandung ternyata jalannya besar-besar,” saya pikir saat itu. Selama enam tahun tinggal di sini, baru pertama kalinya saya menyadari hal tersebut. Sebenarnya, saya terbiasa pulang malam dan pergi pagi, tapi berbeda rasanya saat mengalami hal ini di siang hari. Semuanya terasa tidak nyata, seakan-akan saya masuk ke foto-foto kota Bandung 40 tahun yang lalu.

Situasi jl Asia-Afrika menuju jl sudirman. Cuaca gerimis terlihat penjual bandros melintas pic.twitter.com/GcAhDAbzAV
— rubiyanta (@rubiyanta83) March 29, 2020

Liminal space ini merupakan sesuatu yang tidak asing untuk saya sendiri. Sebagai orang yang selalu terombang-ambing dengan pikiran dan perasaan sendiri, saya selalu mengimani konsep ini. Saya percaya kalau tidak ada yang pasti di dunia ini dan karena itulah, saya menerima bahwa mungkin memang frekuensi saya memang tepatnya di ruang-ruang tidak tentu seperti ini. 

Kembali ke situasi terkini, kondisi ini juga mendatangkan ke berita positif. Bukan hanya menurunnya potensi penularan virus, tapi juga menurunkan polusi. Berbagai media telah mengabarkan polusi di China dan Eropa yang sudah menurun dengan tajam. Dengan tidak adanya kendaran yang lalu-lalang di jalanan dan berkurangnya industri yang berjalan, alam berusaha memperbaiki kekacauan yang telah kita buat.

Liminal space mengajarkan bahwa fase transisi dan transformatif ini, walaupun memberi kecemasan dan ketidaknyamanan, juga memberi kita waktu untuk berhenti dan bernafas sejenak. Manusia yang sudah terbiasa hidup dengan tempo yang serba cepat juga harus memperlambat langkah, agar kita dapat melihat dan mengingatkan diri untuk mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan.

Saya yakin setelah lockdown ini, kita akan keluar rumah dengan lebih bersyukur. Menghargai dan menikmati kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sebelumnya tidak pernah disadari. Appreciate what you have, before it turns into what you had.

© A24



*Proceed only if you've watched the movie or you don't care about spoilers.

Robert Eggers' The Lighthouse is a madness, metaphorically and literally. When two lighthouse keepers are being left on their own in an isolated island for God-knows-how-long, they begin to overthink everything. Beers are the only thing keeping them sane and mermaids are the object of their repressed sexual fantasy, only until pride and curiosity decide to take control. Willem Dafoe and Robert Pattinson successfully express all of this madness by exchanging equally mad sarcastic monologues.

Mad Background Story

When two strangers are stuck in an island, what can go wrong? Well, apparently everything. In an interview with The Verge, the director himself states that, “Nothing good happens when two men are alone in a giant phallus.” I’m not going to discuss about “men” in particular because I’m not a man, so I’m going to discuss how exhausting it must be when you’re isolated with a person you’re not in good terms with in general.

Now, imagine you’re stuck in an island with your boss, wouldn’t it be one hell of a place? I can really sympathize with Pattinson’s character not because I’ve been in an isolation with my boss, but being with people who act like they’re above everything must be exceptionally tiring.

There are some things that everyone feels like hiding, but when you don’t have anything to do in an isolation, anything in the shadows is becoming too interesting to miss out. Especially when the person directly asks you not to do anything with it. The thing is, human doesn’t like to be told what they can and can’t do. Just like Adam and Eve, it’s in our blood.

I completely understand why Pattinson tries hard to get to the light room. Pattinson has to do everything except going to the light room of the lighthouse and Dafoe acts like the light room is only accessible to him. When life is boring, sexual pleasure is being repressed, maintaining the whole building is tiring, and now you can’t even explore the building you’re in just because a grumpy old man says no? Pride and anger take charge.

Maybe that’s why Eggers states “men” in particular. Is it because of the pride that they have? There is a stereotypical assumption that men hold their pride higher than women and if this is what Eggers mean, then the two characters are like two matches ready to burn at all times.

But regardless of their gender, I think I’d also wreak havoc if someone says I can’t go to a room just for no reason, on top of the fact that the person treats me like their servant and behaves almighty. I’m not justifying Pattinson’s anger issue, but sometimes we just want to let it all out. Then again, maybe Pattinson doesn’t have anger issue, maybe it’s the isolation that does things to him.

As a person who’s currently living in an isolation (because lockdown and social distancing) like this is really the perfect time to watch another two people in isolation. Not to mention how hard the rain was when I was watching this two-hours movie, everything is just becoming too real. Hopefully, I won’t get mad just like they do.
If you or anyone you know is having a hard time with self-isolation, please seek for help. Remember to reach out to your friend and family, or professionals who offers psychological conversation. Stay strong, this too shall pass.
layanan konsultasi psikologi online gratis di seluruh indonesia di tengah pandemi covid-19

✨a thread✨
— ---- (@trenchcarnation) March 27, 2020


Mad Monologues and Performance

The surreal psychological horror gives you the creeps in a subtle manner. You won’t find any scary sightings or even bloody actions, regardless of some axe and fist fighting scene. The horrors are mostly carried out through revengeful monologues and facial expressions instead. When Dafoe curses Pattinson with folklore-like words, it feels as if he's Poseidon.
Do you think #WillemDafoe and #RobertPattinson deserved #OscarNoms for their performances in #TheLighthouse? @A24 pic.twitter.com/WykMq7VJQt
— Screenplayed (@Screenplayed) January 15, 2020
Another great monologue is from Pattinson’s character where he provokes his subordinate with vulgar and honest opinion.
Watch how Robert Pattison and Willem Dafoe brought #TheLighthouse script to life in this exclusive clip. pic.twitter.com/8tOgIFypKD
— Screenplayed (@Screenplayed) October 31, 2019

In The Lighthouse, the character’s sentiments towards each other is enough to keep me stick to my chair.

Mad Aesthetic and Cinematography

Black and white movie shots with a classic ratio 1.19:1 really sets the mood. The square-ish ratio successfully makes me feel trapped just like the characters. The lack of colors also stresses how boring it must be to live in an island when no technologies for entertainment purposes weren’t invented yet. All they can do is working, chatting, and questioning everything.

When the two character aren’t busy exchanging dialogues, the camera focuses either on the island or facial expressions. This is the kind of film where you have to wait patiently and figure out whether the object in the frame is some kind of foreshadowing or not, it makes me think. The fact that the movie was actually nominated in 2020’s Oscar for the best cinematography doesn’t surprise me at all, it’s totally Oscar-worthy.
'The Lighthouse (2019, Robert Eggers). Cinematography: Jarin Blaschke pic.twitter.com/fEOSFxupPW
— Lost In Film (@LostInFilm) December 24, 2019


Final Thought

The Lighthouse is madness and I love madness, that’s it. The plot, the characters, and the cinematography are great, but for some reasons it doesn’t leave any lingering emotions in me. Also, because I feel like they can do more about the surreal scenes, rather than just only using mystical creature (mermaid) for the sake of sexual pleasure and symbolism for the character's self-control. Nevertheless, still a great movie.
8.6/10

https://www.hiclipart.com/free-transparent-background-png-clipart-imohh
© Futurama

Saat saya menulis artikel ini, 23/3/19, sudah terhitung 49 korban jiwa dan 579 orang positif COVID-19 yang dikonfirmasi di seluruh Indonesia. Sistem lockdown sudah diberlakukan dan sekumpulan publik dalam jumlah besar sudah mulai ditindaklanjuti pemerintah. Di tengah kegabutan sekaligus keaktifan saya di sosial media, saya memperhatikan para netizen yang mulai sibuk mencari dan menyebarkan informasi apapun, terlepas dari keabsahannya.

Cara orang-orang dalam menyikapi virus ini bisa digambarkan lewat spektrum: spektrum kiri untuk yang paling teredukasi dan tenang, spektrum tengah yang mencoba selalu teredukasi dan tenang walaupun was-was, dan spektrum paling kanan untuk yang kurang teredukasi dan panik. Saya sendiri mencoba untuk bergerak ke spektrum paling kiri. Uniknya, atau bahkan lebih tepatnya, sayangnya, masih banyak sekali makhluk-makhluk di spektrum paling kanan.

Orang-orang di spektrum kanan ini bisa dibilang orang-orang yang mudah termakan hoaks. Setelah mendapatkan informasi, mereka tidak akan mengecek atau bahkan mengkritisi bacaannya, dan lalu panik sendiri. Masih mending kalau mereka panik sendiri, walaupun sebenarnya panik sendiri juga tidak baik karena bisa berimbas ke turunnya kesehatan batin dan lahiriah, yang bermasalah adalah saat mereka mengajak orang lain untuk ikut panik.

Semuanya di mulai dari panic buying, orang-orang yang saya pikir juga termasuk orang-orang egois. Tidak semua yang panic buying berintensi untuk mengajak orang lain untuk panik, apalagi kalau mereka merasa panik setelah melihat orang lain. Tapi saya sempat terpapar langsung oleh orang yang sampai “mengutuk” saya karena tidak mengindahkan ajakan dia untuk belanja tergesa-gesa.

Kenalan saya ini menceritakan harga bawang yang sudah mulai naik dengan tergesa-gesa dan menekankan saya untuk langsung menyetok persediaan sembako. Respon saya yang tenang anehnya membuat dia tersinggung, mungkin karena dia merasa saya tidak menanggapnya serius. Dia berkata, “awas aja kalau nanti minta ke aku karena aku bener.” yang jelas-jelas membuat saya tertegun.

Saya terheran-heran karena orang-orang ini ternyata egois sekali, apalagi orang-orang yang membeli barang sampai stok kosong melompong. Misalkan, ada pekerja yang baru bisa pulang malam dan mendapati barang yang dia butuhkan baru akan diisi ulang dalam beberapa hari kedepan, dia harus bagaimana? Sayangnya, ini sudah mulai terjadi untuk beberapa petugas medis.

Di Twitter, saya mendapati cerita seorang petugas medis yang mulai kekurangan surgical glove dan mask. Orang-orang inilah yang sangat memerlukan memakai masker dan sarung tangan untuk kontak langsung dengan pasien, bukan untuk kalian pakai ke Indom*ret. Saat petugas medis terinfeksi dan gugur, silakan berterima-kasih ke diri egois kalian yang sudah menimbun masker dan hand sanitizer, entah untuk cuan atau untuk perasaan aman semata.

Selain kepanikan untuk membeli barang, saya juga tidak mengerti apa yang didapatkan dalam menyebar kepanikan hoaks. Salah satu hoaks yang tidak jelas dan sedihnya masih ditelan bulat-bulat oleh salah seorang kenalan: corona bisa menyebar lewat tatapan mata. Ketika kenalan saya menginformasikan saya tentang hoaks itu, saya ingin menangis sedu-sedan rasanya. Hoaks ini beredar sebagaimana hoaks bekerja, lewat sosial media dan platform pesan online.

Apa yang menyebarkan hoaks itu iseng? Apa yang menyebarkan hoaks itu benci bersosialisasi dan ingin semua orang untuk berhenti berinteraksi? Saya tidak mengerti, tapi saya lebih tidak mengerti lagi dengan orang yang dengan mantapnya yakin dan meyakinkan orang lain untuk percaya dengan berita-berita yang tidak masuk akal ini.

Mungkin orang-orang yang panik ini tidak ingin panik sendiri dan memaksa orang lain panik agar mereka tidak sendirian. Tapi untuk apa panik kalau kepanikan tidak akan membuat semuanya kembali seperti semula, malah membuat semuanya jatuh ke dalam kekacauan yang menjadi-jadi?

Sama halnya dengan menahan keinginan untuk berpergian ke luar rumah. Kalau kalian punya privilese untuk tetap diam di rumah, gunakanlah privelese itu sebaik mungkin, toh kalian nggak akan membusuk juga. Mungkin kalian yang memiliki imunitas tinggi akan lebih berpotensi untuk sembuh, tapi bagaimana dengan orang tua kalian dan orang-orang lain yang memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi?

Di situasi ini saya memegang erat prinsip dari seorang kontributor Channel 4 News yang sempat mengalami lockdown di Wuhan: “If I am worried now and it happens (to me), I will suffer twice.”  Perlu diingat, siaga berbeda dengan panik. Mencuci tangan dan menjaga kesehatan memang harus ditingkatkan, tapi tetap dengan jumlah pembelian sabun dan vitamin yang wajar karena semua orang berhak untuk mendapatkannya.



Sumber: Netflix

Saya percaya menjadi manusia itu bukan hal yang mudah, lebih-lebih menjadi manusia yang gerak-geriknya diawasi kamera selama 24 jam. Bukan, saya bukan berbicara tentang Big Brother, melainkan acara yang serupa tapi lebih nyata dari negeri hokage, Terrace House. Untuk kamu yang jarang terekspos dengan acara Jejepangan dan mungkin agak memicingkan mata ketika mendengar kata itu, tenang it’s more than just “a weeabo thingy.”

Acara yang sudah diakuisisi Netflix ini berlangsung sejak 2012. Season pertama dari tv show ini hanya diperuntukkan untuk audiens Jepang, eh tapi Netflix melihat potensi yang besar di acara ini dan akhirnya bekerja sama dengan Fuji TV. Sampai detik ini, Terrace House masih on-going setiap hari Senin malam. Mind you, satu season bisa sampai setahun loh, ya karena membernya bisa menentukan kapan mereka mau keluar. Setelah satu season di Shonan, Karuizawa, dan Hawaii, season terbaru yang sudah tayang sejak pertengahan 2019 lalu bertempat di Tokyo. Dengan judul Terrace House: Tokyo 2019-2020, kali ini mereka digaet pemerintah Jepang sebagai upaya promosi Olympic Games yang tahun ini akan diadakan di kota yang sama. Which is such a smart move, secara tempat-tempat yang didatangi membernya pun juga dishoot  dengan apik. Dijamin bakal pengen ke Jepang setelah nonton ini.
Terrace House: Opening New Doors pic.twitter.com/bzqnGEN7JP
— yo girl (@lnnaamnd) May 4, 2019



Enam orang, tiga wanita dan tiga lelaki, dengan berbagai macam latar belakang tinggal di rumah yang dinamakan Terrace House ini. Enam orang tadi bebas untuk menentukan tujuan mereka selama tinggal di rumah ini, dari sini kelihatan kan perbedaannya dengan Big Brother? Tidak ada kompetisi di antara peserta acara. Kalau di Big Brother nantinya akan ada eliminasi, di Terrace House ada yang namanya graduate, persis seperti sistem AKB48 atau JKT48. Setiap orang datang membawa goals yang berbeda; ada yang ingin cari pacar, ada yang low-key bangun reputasi untuk bisnis start-upnya, bahkan ada yang mencari pengalaman untuk keyakinan seksualitasnya. Nah, di sela-sela kegiatan dan interaksi para member, kamu bakal ditemenin sama hosts yang bantuin kita buat membaca mereka. Inget, bukan baca macam cenayang ya, tapi baca macam diskusi perilaku. Iya, karena memang melihat bagaimana manusia saling berinteraksi itu sangat menarik sampai banyak yang bisa didiskusikan. Di sini kamu juga bisa lihat bagaimana kompleksnya manusia, entah itu lewat perspektif budaya Jepang ataupun budaya Indonesia.

Di acara ini kamu bisa melihat semuanya, mulai dari ke-gabut-an anak muda yang masih mencari passionnya, kesibukan lelaki di umur 30 tahun-an yang ingin sekali mendapatkan pacar agar segera menikah, hingga keburukan member yang terungkap saat salah satu member mulai merasa tidak nyaman dengannya. Tapi menurut saya dibilang momen pertama di saat member baru menginjakkan kakinya untuk pertama kali ke rumah masih belum terkalahkan. Atmosfir awkward dan excited yang terpancar selalu membuat asik menontonnya. Ungkapan first impression matters benar adanya, karena sebagai penonton setia Terrace House, saya akan berlagak seperti member lama yang menilai orang baru tersebut. Apakah member baru ini akan inspiring? Siapa yang akan ditaksir member ini? Apakah hubungan di antara member akan ada yang terganggu? Kemungkinan-kemungkinan tersebut selalu saya antisipasi. Tidak perlu ada drama berlebihan, dinamika hubungan pertemanan dua orang yang sangat berbeda saja bisa membuat kamu campur aduk kok nontonnya.

Menariknya lagi, member Terrace House tidak semuanya orang Jepang, mulai dari orang Amerika sampai blasteran Jepang-Kamboja pun ada. Saya pernah coba-coba mengisi formulirnya dan salah satu syaratnya adalah fluent dalam bahasa Jepang. Tentunya ini menambah variabel budaya yang bisa diulik. Contohnya, di beberapa episode akhir tahun kemarin, kamu bisa melihat bagaimana bedanya wanita Jepang dan Jerman saat menggebet lelaki yang sama. Memang tidak baik untuk menggeneralisasi satu budaya dari satu orang, tapi tidak bisa dipungkiri kalau latar belakang seseorang juga berperan banyak dalam perilakunya. 

Budaya yang berbeda ini juga bisa menjadi topik hangat seperti saat seorang lelaki yang sudah lama tinggal di Amerika dengan santainya menyentuh lutut wanita Jepang sembari mengobrol, sesuatu yang dianggap aneh di budaya Jepang jika dua orang tersebut belum cukup dekat. Keanehan momen ini baru saya sadari saat para host mendiskusikannya. Mereka beranggapan bahwa itu adalah perilaku normal untuk seseorang dengan latar belakang budaya barat, karena kemungkinan lainnya, bila dilihat dari sudut pandang mereka sendiri merupakan pertanda kalau mereka sudah pernah tidur bersama.  Di akhir, tidak pernah terungkap apakah benar mereka punya hubungan intim atau hanya sekedar gesture yang tidak disadari, yang jelas mereka tidak berhubungan romantis.

Dari semua dinamika hubungan yang ada, Terrace House ini sebenarnya lebih tepat jika dianggap sebagai tempat yang “menjadikan manusia.” Saya masih ingat salah satu member wanita kaget saat menonton dirinya dari sudut pandang ketiga. Dia tidak sadar bahwa perilakunya selama tinggal di rumah itu  bisa dibilang unlikeable karena kurangnya konsiderasi untuk rival cintanya. Tentu saja dia langsung menangis dan mengutuk diri sendiri, tapi esoknya dia tersadar kalau momen itu membantu dia untuk mengintrospeksi diri. 

Tinggal berbulan-bulan dengan berbagai orang dengan karakter yang berbeda  adalah suatu tantangan, tantangan untuk menjadi manusia yang bertoleransi. Sama halnya untuk saya, yang pada awalnya melihat manusia, saya belajar untuk menjadi manusia. 


Salah satu momen paling menyentuh yang saya pernah tonton adalah saat seorang mangaka asal Italia akhirnya menerbitkam komik pertamanya. Untuk beberapa episode, penonton bisa melihat bagaimana mangaka ini selalu berkutat dengan pentabnya. Kefokusan dan keteguhannya untuk membuat manga selalu dikagumi dan didorong oleh member lainnya, bahkan love interestnya. Dari member-member dengan tujuan karir yang jelas ini saya mendaptkan inspirasi dan dorongan untuk terus maju juga. Rasanya seperti mendapatkan teman yang sama-sama sedang berjuang, dari dia saya belajar untuk terus maju dan tidak mudah berkecil hati.

Terrace House memberikan wadah bagi orang-orang yang ingin mengembangkan dirinya, baik di dalam layar maupun di depan layar. Melihat manusia tidak melulu berujung ke gossip, tapi melihat bagaimana dunia bekerja dan menjadi manusia yang sewajarnya.


Sumber: Linna A, 2020

Cats and cute art, such a perfect combination, right? That’s exactly why this independent game is trending right now. I don’t know if you’ve seen it on your timeline but I sure have for the past few days. At first, I thought it was just some boring clicker game, but little did I know it’s much more than that.

In this game, you’ll be playing as a homeowner (literally a home and meow owner), a stay-at-home person who takes care of everything while your spouse goes to work. So, the plot is simple enough to follow: you and your spouse moved to an empty house with your cat, s/he goes to work, you take care of everything from bathing the cat to decorate the house. At the end of the day, both the spouse and the cat will give you some love which works as a currency. You can buy furniture and foods with this love they gave you, all you have to do is be patient and take care of the cat. When you have enough money, you can unlock other rooms such as garden and bedroom and more cats to adopt. The more love you get, the richer you are.

What makes it interesting is how on brand the application is. The art style is simple yet adorable and the cat is just simply adorable. It does not offer many moving animations but it’s enough to get you hooked because of how simple the game is. Once you bathed the cat, for instance, you’ll have to wait for hours to do it again. This game reminds you how important it is to take things slowly and just live in the moment. You can find the characters of this game moved place by themselves, they can be sitting calmly at the porch, watching tv at the lounge, or sleeping soundly on their bed. With calming instruments, the game gives you some sort of relaxation and warms your heart, truly adorable.

Surprisingly, this game is inclusive, as well. You have to choose a spouse and you can choose any character you want regardless of their gender. I would say this is really a great thing to do, because there’s not many games that doesn’t limit their spouse choice. You can’t expect everyone to be attracted to the opposite gender, right? Like come on, it's 2020.

What I’m trying to say is that the game is pretty self-explanatory. If you’re a cat lover you surely will love it, since it’s vibe is similar to the infamous cat-collecting game, Neko Atsume. If you’re someone who wants to kill time in a lovely and warm home, this one is also for you.

Newer Posts Older Posts Home

@lnnaamnd

@lnnatic

Topics

After Cinema Thoughts Been There Done That Design EPH Fiction How This World Works Literary Response Literature Class Movie Review Personal Poetry Pop Culture recommendation list The Internet Loves It What to Watch
Powered by Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2020 (10)
    • ►  October (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (3)
    • ▼  March (5)
      • Mengamati Liminal Space di Lokasi Lockdown
      • The Lighthouse (2019): A Mad Tale of Two Mad Men i...
      • Merasa dan Memaksa Panik: Kepanikan Corona di Indo...
      • Melihat Manusia di Terrace House
      • Adorable Home
  • ►  2019 (6)
    • ►  November (6)
  • ►  2017 (16)
    • ►  January (16)
  • ►  2016 (19)
    • ►  June (19)
  • ►  2014 (2)
    • ►  December (2)

Copyright © /lnnatic/. Designed & Developed by OddThemes