Tunawisma di Masa Corona

© Abhishek Goel

Sehari sebelum lebaran saya berniat untuk belanja di suatu supermarket, tapi sebelum bisa membelokkan setang motor ke tempat parkir saya sudah dikejutkan dengan kendaraan yang membludak hingga ke depan gerbang. Entah mereka ada keperluan membeli kue kering untuk keluarga inti, atau bahkan membeli baju baru yang akan dipamerkan lewat media sosial, saya lebih memilih untuk menginjak gas motor dan menjauhi mereka.

Hari itu cuaca kota Bandung cerah sekali, dengan langit yang sangat biru dan awan yang saling berjarak, seperti tidak ada niatan untuk menutupi lapisan ozon. Saya pikir hari itu terlalu cerah untuk hanya dihabiskan di dalam minimarket dan kosan yang sempit, jadi saya memantapkan hati untuk keliling kota sembari ngabuburit. Selama saya tidak turun dari motor dan tidak berinteraksi langsung dengan orang lain, tidak masalah kan?

Dulu saya sering sekali jalan-jalan tanpa arah seperti ini, apalagi saat masih kuliah. Ditemani teman-teman perantau yang tidak ada tujuan, kami biasanya mengelilingi Bandung dan melipir ke kafe saat dirasa sudah lelah. Seperginya teman-teman tersebut, saya biasa keliling sendirian dan beberapa kali ikut acara momotoran punya Komunitas Aleut

Dimulai dari Setiabudhi, saya lurus terus melewati Siliwangi dan Dago Atas sebelum balik arah ke Gedung Sate. Dari situ saya mulai memasuki jalan Supratman dan berniat terus ke Antapani. Sayangnya, saya salah belok di jalan Ahmad Yani dan malah kembali ke arah Laswi.

Tapi, isu yang akan saya sampaikan di sini sebenarnya sudah mulai terasa sejak saya melewati Jalan Supratman yang begitu panjang dan bersih. Saya melihat beberapa keluarga tunawisma duduk di trotoar di bulan Ramadhan yang terik itu.

Kebetulan, sekitar beberapa hari sebelumnya, teman semasa kuliah saya yang biasa dipanggil Padika mengunggah esai dia di Medium. Dia menulis hasil pengamatannya terhadap komunitas kelas sosial bawah dan keberadaan mereka sebagai "pelengkap" suasana romantis Jalan Braga.

Bagaikan gajah di pelupuk mata, para tunawisma yang berdiam di jalan itu melebur dengan hingar-bingar langkah kaki turis dan speaker kencang dari dalam kafe. Keberadaan mereka sangat-sangat melebur hingga sudah tidak dianggap menjadi sebuah masalah besar. Semuanya tertutupi fasad konsumerisme.

Saat corona tiba di Indonesia, semua orang langsung menutup rapat-rapat pintu dan mencari kenyamanan di balik dinding bata mereka, setidaknya untuk kalangan menengah ke atas. Jalan-jalan yang tadinya tertutupi motor dan mobil yang sibuk berlalu-lalang sekarang terbuka lebar dan menyingkap kenyataan pahit ini.

Dalam momotoran solo saya hari itu, saya beberapa kali menjumpai tunawisma yang sedang berdiam diri di bawah pohon rindang. Tidak beberapa kali pula saya bertatap mata dengan mereka. Bukan, saya bukan berniat untuk memelototi mereka dengan tidak sopan, situasi jalan yang kosong tidak sengaja mengarahkan mata saya ke mereka.

Di dalam situasi lockdown seperti ini tidak ada lagi yang menutupi mereka. Semua kepahitan hidup terpampang jelas di antara lengangnya jalanan kota besar.

WFH ini, WFH itu, bagaimana kabar orang yang tidak punya home? Jalanan ditutup, tapi bagaimana dengan orang-orang yang hidup di jalanan?

Anehnya, saat saya mencari berita tentang penanganan tunawisma oleh pemerintah saya mendapati kalimat ini: "Selama berada di penampungan, para tunawisma diberikan sosialisasi tentang pencegahan COVID-19, meminta mereka untuk kembali ke rumah masing-masing."

Pemerintah memang menampung para tunawisma untuk dites dan diedukasi tentang corona, tapi setelahnya mereka disuruh untuk kembali ke rumah, Sebenarnya ada kenyataan dibalik kalimat itu, ada sebagian tunawisma yang memilih kabur dari rumah karena berbagai kondisi hidup yang tidak kondusif. Tapi, bagaimana dengan tunawisma dalam artian harfiah?

Sebetulnya tunawisma memiliki perlindungan pemerintah, dalam situasi pandemi ataupun tidak. Dinas Sosial di tiap-tiap daerah memiliki panti yang siap menampung para gelandangan dan pengemis. Sayangnya, banyak juga dari mereka yang memilih untuk tetap di jalan karena alasan kebebasan, dan lain-lain.

Tentu mereka tidak sepenuhnya salah, pemerintah juga masih tidak tegas saat memberantas ketunawismaan di negara ini. Tidak jarang saya mendapati gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di sekitar gedung pemerintahan. Tapi di luar itu, saya tidak tahu apakah ada faktor lain yang membuat para mantan penghuni panti lebih memilih untuk kembali ke jalanan.

Pada akhirnya, saya hanya pengamat yang melintasi jalanan dengan kenyamanan motor pribadi saya. Mungkin kamu berpikir alangkah lebih baik kalau saya turun sejenak dan berbincang dengan mereka, mendengar langsung semua isu ini dari sudut pandang pertama. 

Sebenarnya saya juga berpikiran sama, tapi segenap keberanian masih saya kumpulkan. Untuk sekarang, sayangnya, saya baru bisa menulis dari sudut pandang orang berprivelese yang mencoba untuk lebih kritis dan empatik terhadap orang lain. 

1 comments

  1. Di situ saya merasa sedih, tak bisa membantu para tunawisma.

    ReplyDelete