![]() |
© URBAstudios |
Pernah dengar konsep Minimalism dan Intermittent Fasting? Konsep minimalisme sudah banyak diaplikasikan di kehidupan sehari-hari, sedangkan konsep yang satunya baru mulai sering dilontarkan para selebriti luar negeri sebagai jenis diet favorit mereka. Menariknya, kalau kamu anak kosan, dengan catatan demografik kelas menengah ke bawah, mungkin sudah lama hidup dengan konsep ini. How come? Ya karena dua konsep ini dasari hal yang sama: nggak bikin kantong kering.
Minimalisme
bukan cuma estetika semata, konsep ini adalah konsep lifestyle yang akan sangat bermanfaat untuk semua jenis kalangan,
khususnya anak kosan. Semua diawali saat saya sering gabut dan scrolling Pinterest. Sebagai orang yang kalau beli baju lewat online shop bisa
sebulan lima kali, tidak kerasa baju saya sudah menggunung di dalam lemari.
Saya
yang saat itu sedang sering down berpikir
bahwa aktivitas konsumerisme dapat membuat saya lebih bahagia, selayaknya
sistem yang menawarkan kondisi hidup yang lebih baik dengan memiliki
barang-barang mahal. Walaupun banyaknya baju di lemari saya amat sangat memadai
untuk tidak memakai baju yang sama untuk sebulan, saya hanya pakai baju yang
itu-itu saja, which is masalah yang
sangat relatable untuk banyak orang.
Saya mulai risih sendiri dengan padanan baju
yang membosankan dan mulai mencari inspirasi di Pinterest. Di sinilah saya
terekspos dengan Capsule Wardrobe,
konsep berpakaian untuk orang-orang dengan gaya hidup minimal. Dengan hanya dua
kaus, dua blus, tiga jenis celana, dan dua jenis luaran, ternyata saya bisa
mempadu-padankannya untuk berbagai aktifitas selama berbulan-bulan. Dengan
adanya pilihan yang terbatas, kreatifitas pun ikut jalan, waktu untuk siap-siap
jadi lebih cepat, dan kata Matt D’Avila, seorang youtuber
minimalisme, menyuci baju tidak akan bikin capek lagi.
Semenjak
itu saya tertarik untuk mempelajari lebih lanjut apa sebenarnya dan bagaimana penerapan
teori minimalisme. Mulai dari buku The
Minimalist yang ditulis dua sahabat mantan budak kapitalisme hingga video
dari Youtuber seperti Matt D’Avila dan Rachel Aust. Dari buku itu saya mengerti
alasan kenapa aktivitas konsumerisme yang menghidupi kapitalisme tidak membuat
saya lebih bahagia. Seperti kata The
Minimalist, fokus ke aktivitas dan hubungan yang ada di hidup ini, bukan ke
materi yang di akhir hanya akan menjadi tumpukan sampah.
Saya sadar kalau yang
saya harus lebih banyak keluar kosan dan melihat dunia secara langsung
dibandingkan hanya rebahan dan mengharapkan sehelai kaus dengan motif polkadot
akan membuat saya senang. Memang saya senang, tapi hanya sesaat bila
dibandingkan dengan aktifitas nyata seperti mengikuti komunitas relawan
misalnya.
Perlu dipahami, minimalis tidak sama dengan pepatah “money won’t
bring you happiness” ya. Secara personal, uang juga membantu saya untuk
mengikuti kelas kerajinan dan membeli tiket kereta api untuk berlibur ke
Jogjakarta, misalnya. Tapi memang semuanya kembali lagi ke hal apa yang ingin dibatasi
dengan konsep minimalisme ini.
Merasa sudah hidup seperti ini karena faktor
biaya dan merasa baik-baik saja? Congrats! Karena memang hidup akan lebih
berarti saat kamu tidak berpegangan dengan materi-materi fisik.
Tapi ada satu pandangan yang menyimpang, minimalisme bukan berarti barang yang kamu
miliki harus berestetika minimalis ya, tapi lebih ke kegunaan barang itu
sendiri. Misalkan kamu hanya punya dua kaus dengan motif yang ramai, yang
notabene berseberangan dengan teori
desain minimalis, bukan berarti kamu harus membeli kaus baru dengan
warna monokrom.
Dari documenter The Minimalist,
kamu bisa lihat banyak orang yang menyukai pakaian dengan berbagai macam pola
dan warna tetap hidup lancar sebagai minimalis. Cocok banget kan untuk gaya
hidup anak kosan melarat? Hidup minimalis itu menekankan fungsi dari materi,
bukan hanya estetika untuk feed Instagram. Kalaupun iya, sah-sah saja karena
toh itu hak mereka.
Untuk
makan pun, konsep yang satu ini juga merembet ke minimalisme. Untuk tipe anak
kosan seperti saya yang jarang ngemil dan makan berat maksimal dua kali sehari,
diet ini kayanya tidak akan susah diterapkan.
Selain karena faktor finansial,
saya pikir saya tidak harus sering olahraga karenanya. Sebenarnya mau
bagaimanapun pola makannya kita harus tetap rajin berolahraga, tapi beginilah
logika saya yang pemalas. Saya yakin banyak anak rantau lainnya yang memiliki
pola makan seperti ini, sampai saya membaca sebuah artikel seorang selebriti
dengan diet Intermittent Fasting.
Lebih
dengan mengatur waktu mengkonsumsi makan daripada membatasi jenis makanan, inti
dari diet yang satu ini adalah jeda waktu. Bisa dibilang mirip dengan konsep
puasa setengah hari, sebagian metode dari diet ini mengharuskan kamu untuk
tidak makan apapun selama 16 jam di luar jam makan siang. Selama masa
“berpuasa” ini kamu boleh tetap minum ya, asal bukan minuman dengan gula
seabrek seperti brown sugar dan boba milk tea.
Tren ini mulai ngetren dicoba
artis Hollywood mulai dari Kourtney Kardashian, Hugh Jackman, sampai penjaga
galaksi, Chris Pratt. Jadi untuk kamu-kamu yang biasanya merapel makan, sadar
nggak sadar kamu sudah hidup sehat dan modern nih.
Kalau
sudah paham konsep-konsep modern yang intinya more is less ini rasanya kamu jadi lebih sah untuk menyombongkan
diri. Daripada menjelaskan dengan alasan “karena
aq misqueen,” sekarang kamu bisa bilang “hey, ini gaya hidup modern ala
artis Hollywood.”
Lagian apa urusan
mereka ngata-ngatain anak merantau yang sedang berjuang untuk masa depan yang
lebih baik? Biarin aja kamu pakai baju yang itu-itu aja dan makan seadanya,
yang penting kebutuhan dasarmu sudah aman. Satu pesanku untuk sesama anak kosan di luar sana: you’re doing great sweetie.
0 comments